Peran Perempuan Dalam Pemilu Di Indonesia
-Baca Juga
Anis Andayani |
Oleh : Anis Andayani*
Pasca reformasi 1998 terdapat eskalasi politik perempuan di Indonesia, hal ini terlihat sejak Pemilu 2009 yang notabene Pemilu pertama di era reformasi terdapat 45 perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR atau sebanyak 9% , kemudian naik menjadi 11,3% pada Pemilu 2004 dan 18% pada pemilu 2009 namun menurun menjadi 17% pada pemilu 2014. salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah adanya afirmatif action yang terdapat dalam beberapa aturan perundang-undangan yang salah satunya tertuang dalam undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
UU
No. 7 tahun 2017 mengamanahkan pada partai politik untuk menyertakan 30%
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat.
Dengan
adanya aturan tersebut seharusnya cukup memberikan ruang terhadap perempuan
sehingga dapat ikut serta berperan dalam kontestasi politik baik sebagai
peserta maupun sebagai Penyelenggara Pemilu, namun eskalasi tersebut belum
cukup memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan.
Perempuan Sebagai Peserta Pemilu
Dalam sejarah pemilu sejak terjadi reformasi kehadiran perempuan dalam parlemen meningkat namun pada pemilu 2014 prosentase perempuan di palemen menurun, dari 18% pada pemilu 2009 menurun menjadi 17% pada pemilu 2014, “Perspektif Ida Fauziah dalam GELIAT PEREMPUAN PASCA REFORMASI (2015:75), Penurunan ini terjadi karena beberapa factor. Pertama factor cultural. Factor ini berupa paradigm patriarki yang masih berkembang di masyarakat.
Dunia politik
masih dianggap dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang bahwa
perempuan tidak pantas masuk kancah politik. Situasi ini berdampak pada dua
hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius masuk partai polotik,
dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih caleg
perempuan.
Kedua,
secara structural, affirmative action
yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan perempuan ternyata blum efektif”.
Akan
tetapi di Pemilu 2019 terdapat peningkatan prosentase perempuan di parlemen,
yaitu sebesar 20,5%. Terdapat peningkatan 3,5% dari prosentase perempuan
di parlemen pada 2014. Namun tetap saja
peningkatan yang cukup signifikan tersebut belum mencapai prosentasi afirmasi
yang diberikan.
Afirmasi
yang tertuang dalam undang-undang parpol dan pemilu mewajibkan bagi partai
politik untuk mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari jumlah caleg di
setiap daerah pemilihan. Bahkan terancam dicoret dari kepertaan pemilu jika
tidak dapat memenuhi kuota tersebut.
Perspektif
Ida Fauziah, “geliat perempuan pasca reformasi (2015:76) , langkah afirmasi itu
ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan karena terbentur
system pemilu.” Pemilu dengan sistim terbuka dan suara terbanyak melahirkan kompitisi
sehingga belum tentu kepesertaan yang mewajibkan minimal 30% perempuan dapat
terpilih sesuai dengan kuota yang disyaratkan.
Perempuan Sebagai Penyelenggara Pemilu
Dalam
hal ini, antusiasme perempuan untuk menjadi penyelenggara pemilu juga dinilai
masih rendah, hal ini terlihat pada rekrutmen anggota KPU Propinsi tahun 2018.
Dari jumlah calon yang lolos, prosentase perempuan relative kecil, tercatat
hanya ada 30 perempuan atau 17,4%, sedangkan jumlah laki-laki mencapai 142
orang atau 82,5%.
Demikian
pula pada rekrutmen Bawaslu, dari hasil rekrutmen tahun 2018 terdapat 29%
komisioner perempuan di tingkat propinsi, 13% di tingkat Kabupaten/kota, dan
11% di tingkat kecamatan. Sedangkan komisiner laki-laki mencapai 71% ditingkat
propinsi, 87% di tingkat Kabupaten, dan 89% di tingkat kecamatan.
Factor penyebab dari rendahnya antusias perempuan menjadi penyelenggara tidaklah berbeda dengan factor rendahnya perempuan sebagai peserta Pemilu, yaitu factor cultural dan factor structural, selain itu kapasitas tidak bisa ditawar sehingga kehadirann perempuan sebagai penyelenggara Pemilu harus dalam kapasitas yang sama dengan laki-la-laki.
Perempuan Sebagai Pemilih Dalam Pemilu
Jumlah
pemilih potensial perempuan dalam pemilu 2019 mencapai 92,796.375 pemilih.
Hanya berbeda tipis dari jumlah pemilih potensial laki-laki sebesar 92.843.299
pemilih. Namun potensi suara perempuan
yang demikian besar belum dapat menghasilkan keterwakilan 30% perempuan di
parlemen yang diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang benar-benar melindungi hak perempuan. Sehingga
masalah-masalah perempuan seperti kemiskinan perempuan, rendahnya SDM
perempuan, TKW dan kekerasan terhadap perempuan dari masa ke masa bagaikan
lingkaran setan yang tidak terputus.
Perspektif
“Ida Fauziah dalam geliat perempuan pasca reformasi (2015:7) kebijakan yang
belum berpihak pada perempuan terjadi Karena masih rendahnya keterwakilan
perempuan dalam politik dan parlemen yang merupakan arena pembentukan kebijakan
public”
*Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Mojokerto Divisi Hukum dan Pengawasan